Skandal Pembekuan Pajak di Tarabbi: Warga Tani Tertindas, Surat Edaran Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulsel Diduga Dipelintir!
Luwu Timur,Media.K-PK
Adanya penghapusan pajak di desa Tarabbi mengundang investigasi dari empat media nasional turun langsung ke Desa Tarabbi, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, setelah mencuat kabar pembekuan sepihak pajak lahan warga oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lutim.
Kasus ini menyeret nama Kepala Desa Tarabbi, yang diduga menggunakan dasar surat edaran “palsu” mengatasnamakan Gubernur Sulawesi Selatan.

Target pertama investigasi, Ambo Upe (74) – seorang petani tulen dari Dusun Dandawasu 1 – menjadi saksi hidup betapa kebijakan sepihak itu menjerat rakyat kecil.
“Kami mulai membuka lahan ini sejak 1996. Tahun 1998 kami tanam cokelat, disusul jengkol, kelapa, sawi, durian, pala, jagung, nilam, dan sayur-sayuran. Semua kami rawat sendiri tanpa bantuan pemerintah,” ujar Ambo Upe dengan nada getir.
Namun nasib berkata lain. Kebun yang sudah digarap puluhan tahun itu kini terblokir karena pembekuan pajak lahan (SPPT PBB) oleh Bapenda Lutim, tanpa sosialisasi, tanpa penjelasan, dan tanpa kejelasan hukum.
Warga Dusun Dandawasu 1 dan 2 mendadak kehilangan hak administrasi atas lahan yang menjadi sumber hidup mereka. Ironisnya, menurut pengakuan warga, penonaktifan pajak tersebut dilakukan atas dasar surat dari Kepala Desa Tarabbi, Rondi, yang mengklaim mendapat edaran resmi dari Gubernur Sulsel.
“Kata Pak Kades, ini perintah dari Bapak Gubernur, jadi SPPT kami dinonaktifkan sementara,” ungkap salah satu warga dengan nada kecewa.
Merasa ada kejanggalan, tim investigasi langsung bergerak ke kantor Bapenda Lutim untuk mengkonfirmasi dasar hukum penonaktifan tersebut. Setelah menelisik isi surat yang dimaksud, terbongkarlah fakta mengejutkan:
Surat itu bukan dari Gubernur Sulsel, melainkan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) – dan isinya pun tidak mengatur pembekuan SPPT PBB, melainkan hanya imbauan terkait pengelolaan lahan dalam kawasan hutan.
Lebih parah lagi, berdasarkan hasil observasi lapangan, lahan yang disebut “kawasan hutan” itu nyatanya berada di wilayah terbuka dan telah dikelola masyarakat sejak puluhan tahun lalu. Tidak ada tanda-tanda bahwa lahan tersebut masuk dalam kategori kawasan hutan lindung atau konservasi.
Keputusan Kepala Desa Tarabbi yang “mengatasnamakan Gubernur” dinilai sebagai tindakan gegabah, menyesatkan, dan berpotensi melanggar hukum administrasi.
Tim media pun menilai, ada indikasi kuat terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan pemelintiran dokumen resmi demi kepentingan tertentu.
“Kami kecewa berat. Nama pejabat tinggi provinsi dibawa-bawa tanpa dasar hukum yang jelas. Rakyat kecil dikorbankan karena ketidaktelitian dan manipulasi administrasi,” tegas salah satu anggota Tim Investigasi.
Hingga berita ini diturunkan, Bapenda Lutim dan Pemerintah Desa Tarabbi belum memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan manipulasi surat tersebut.
Sementara para petani seperti Ambo Upe masih menunggu keadilan dan pemulihan hak atas lahan mereka yang selama ini menjadi tumpuan hidup.(Nasir)