Aktivis Senior Banyuwangi Mempertanyakan Konsistensi Supremasi Hukum di Banyuwangi dalam Kasus Pengancaman dengan Senjata Api
Banyuwangi, mediakpk.co.id – Banyuwangi dihebohkan dengan kasus pengancaman menggunakan senjata api (senpi) terhadap seorang petugas parkir oleh seorang pengguna jalan yang terjadi pada tanggal 30 Oktober 2024. Insiden ini segera dilaporkan ke Polresta Banyuwangi dengan didukung oleh dua saksi yang menyaksikan langsung kejadian tersebut.
Namun, mencuat pertanyaan di masyarakat ketika laporan tersebut tiba-tiba dicabut oleh pelapor hanya sehari setelahnya, tepatnya pada 31 Oktober 2024. Ada apa di balik pencabutan laporan ini?
Harimau Blambangan “Yunus Wahyudi” mengatakan, Penggunaan senjata api oleh warga sipil di Indonesia merupakan kasus yang sangat jarang dan diatur ketat oleh hukum. Sesuai aturan yang berlaku, kepemilikan senpi oleh warga sipil hanya diizinkan dalam kondisi tertentu, seperti saat berlatih atau mengikuti kompetisi, dan senjata tersebut harus disimpan dengan ketat,”ucapnya
Bahkan aparat TNI dan Polri hanya boleh membawa senjata dalam tugas tertentu di lapangan, dengan izin khusus,”imbuh Yunus
Abdul Ghani selaku Aktivis senior di Banyuwangi juga menjelaskan, Jika pengguna senjata api melakukan tindakan pengancaman tanpa izin, hukum memperberat sanksi yang bisa mencapai hukuman penjara hingga 20 tahun, terutama bila aksi tersebut mengancam nyawa orang lain. Ketatnya regulasi ini didukung oleh Undang-Undang No. 12/1951, UU No. 8/1951, Perkapolri No. 18/2015, dan No. 1/2022 yang mengatur kepemilikan dan penggunaan senpi oleh warga negara Indonesia, “jelasnya.
Kejadian pengancaman di ruang publik, terutama dengan senjata api, pada umumnya diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Umum. Sehingga, saksi dari masyarakat umum menjadi unsur penting dalam memperkuat bukti dan kredibilitas suatu kasus. Seperti pada insiden “gurauan bom” di pesawat, pelaku langsung diamankan oleh pihak keamanan meskipun ancaman tersebut bukan ancaman fisik langsung.
Di lain sisi, Andi Purnama selaku Pengamat Kebijakan Daerah dan Hukum, mengatakan Dalam kasus di Banyuwangi ini, proses hukum yang begitu cepat berakhir dengan pencabutan laporan tanpa transparansi dari pihak kepolisian terkait penyelidikan. Terjadi pula skema perdamaian antara pelaku dan korban yang memunculkan kesan tidak adil di mata masyarakat.
Tindakan ini menuai kritik karena dianggap menciderai rasa kepercayaan publik terhadap supremasi hukum, terutama dari pihak Polresta Banyuwangi.,”tegas nya.
Keadilan yang seharusnya hadir tanpa diskriminasi terlihat seakan hanya tegas terhadap masyarakat tanpa pengaruh atau kekuasaan. Ketidaktransparanan dalam penyelesaian kasus ini meninggalkan kesan bahwa hukum bersifat “fleksibel” bagi mereka yang memiliki modal dan akses kekuasaan.
Jika supremasi hukum tidak dijunjung tinggi dan transparansi tidak diterapkan dalam proses penyelidikan, kasus seperti ini akan memperkuat anggapan bahwa hukum di Indonesia dapat diperjualbelikan. Hal ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang seharusnya berpihak pada keadilan bagi semua, “pungkas Andi Purnama.
( Redd/S.Bahri )