Bukan Ibu Salah Kandung* Ocit Abdurrosyid Siddiq _ Penulis adalah Ketua Komunitas Kamus Sunda Banten_
mediakpk.co.id – Suatu hari Pandu membawa pulang tiga orang perempuan; Kunti, Gendari, dan Madrim. Ketiganya diserahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang tidak bisa melihat karena buta, untuk dijadikan istrinya. Karena dia tidak dapat melihat, maka dia memilih calon istrinya dengan cara mengangkat tubuh para perempuan itu.
Terpilihlah Gendari, yang memiliki bobot lebih berat dibanding Kunti dan Madrim. Alasan Dretarasta, dengan bobot yang lebih berat, maka akan melahirkan keturunan yang banyak, keinginan yang selama ini dia impikan. Walaupun pada akhirnya Gendari menjadi istri Dretarasta, dia tidak terima atas cara calon suaminya dalam menentukan calon istri.
Dia menjadi pilihan Dretarasta, bukan karena ketaatan beragamanya, kebaikan sikapnya, keluhuran martabat keluarganya, kecantikan parasnya, atau karena berlimpah hartanya. Dia terpilih karena bobot tubuhnya. Dia juga marah kepada Pandu, yang tega menyerahkan dirinya kepada sang kakak untuk dipilih menjadi istrinya.
Penyerahan itu baginya merupakan pelecehan atas perempuan, seolah-olah dia menjadi piala bergilir yang dapat dimiliki secara bergantian. Walaupun telah sah menjadi istri Dretarasta, dan memiliki anak hingga seratus orang, dia tetap memelihara amarah pada Pandu. Dibantu oleh adiknya Sengkuni, dia mendidik anak-anaknya dan bersumpah untuk balas dendam atas anak-anak Pandu.
Anak-anaknya inilah yang kemudian dikenal dengan Kurawa. Sementara anak-anak Pandu dikenal dengan nama Pandawa. Cerita selanjutnya kita sudah tahu. Antara Kurawa dan Pandawa terlibat perselisihan yang memuncak dalam Perang Baratayudha. Sebuah peperangan di Kurusetra yang melibatkan perseteruan antara keluarga.
Perang Baratayudha melegenda, hingga istilah ini biasa digunakan untuk menggambarkan kerusuhan atau kegaduhan dalam sebuah negara, bahkan konflik dalam keluarga. Kehebohan Perang Baratayudha mungkin lebih familiar di benak kita dibanding Perang Dunia Pertama atau Perang Dunia Kedua. Bila kita runut kembali akar masalah yang menyebabkan terjadinya Perang Baratayudha adalah persoalan sederhana, yaitu bobot tubuh.
Gemuk penyebab terjadinya Perang Baratayudha? Tidak juga. Pilihan Dretarasta itu rasional. Bahwa yang bertubuh subur itu akan dapat melahirkan keturunan yang banyak. Dari yang subur dapat berkembang-biak dengan cepat. Dia memilih Gendari, bukan karena faktor kecantikan. Cantik dan langsing di masa itu bukan pilihan.
Penulis masih ingat, sekitar tahun 1980an justru para perempuan berbadan subur merupakan tipikal perempuan yang menjadi dambaan kaum pria. Indikator sederhananya adalah dalam setiap perbincangan kaum pria dewasa waktu itu, selalu terselip istilah “bohay”, “denok”, dan “eplok-cendol”. Ketiga istilah tersebut merujuk pada bentuk tubuh yang berisi. Dan itu menjadi model perempuan dambaan.
Jarang sekali kaum pria menginginkan pasangan hidupnya yang kurus atau langsing. Bahkan dalam bahasa seloroh, di kalangan kaum pria kerap muncul komentar bahwa perempuan kurus itu merepotkan, sementara yang gemuk itu memiliki kelebihan, “tak perlu menggunakan kasur lagi”.
Saat itu, memiliki pasangan yang “bohay” merupakan sebuah kebanggaan. Menimbulkan decak-kagum yang memandangnya. Para orangtua seringkali memuji anak perempuan mereka dengan istilah “denok”, yang konotasinya bukan hanya cantik, tetapi juga berisi. Istilah “eplok-cendol” biasanya disematkan pada perempuan yang memiliki (maaf) bokong yang indah; besar, bulat, dan bila sedang berjalan, bergerak bergelombang laksana cendol.
Berkebalikan dengan dulu, kini banyak perempuan yang mendambakan sosok diri yang tinggi, langsing, dan bentuk tubuh yang disebut sebagai proporsional. Ada pergeseran makna “cantik” yang menyebabkan banyak perempuan susah payah mencoba mengubah tampilan kodratinya. Perubahan ini dalam rangka agar terlihat menarik dan menjadi dambaan bagi kaum lawan-jenis
Sesungguhnya, bila kaum pria ditanya, bentuk tubuh perempuan seperti apa yang mereka dambakan? Tak seluruhnya mengiyakan bahwa sosok perempuan pujaan haruslah yang langsing. Karena para pria dalam menentukan pasangan hidupnya, lebih cenderung memilih perempuan yang taat agamanya, baik akhlaknya, dan terhormat leluhurnya. Dan kalau ada, yang banyak hartanya.
Memilih calon pasangan hidup itu, selain sudah ditentukan oleh Tuhan, juga ditentukan oleh selera. Perkara selera ini tidak bisa didiskusikan apalagi diseragamkan. Mengapa? Karena perkara selera itu sangat subjektif. Selera itu tingkat kerumitannya hanya satu strip dibawah ruh, yang adalah menjadi urusan Tuhan. Jadi, jangan berharap menemukan titik temu kalau sudah menyangkut urusan selera.
“Gua mah kagak ngerti sama tu orang. Udah ganteng, kaya, tapi berjodo ama bininya yang kayak gitu”, adalah contoh celoteh ketika seseorang menakar selera orang lain. “Naon nu diarah eta salakina. Pang rasa aing mah, manehna sakitu geulisna, tapi hook jasa ka si eta anu nya hapeuk nya balangsak”, juga merupakan ekspresi melengek seseorang atas pilihan orang lain. Itu terjadi karena standar selera yang berbeda.
“Berbadan sejahtera” -untuk menghindari diksi berbobot, gemuk, lintuh, dan burayut- malah bisa dipahami sebagai nilai tambah. Dalam momentum peringatan hari ibu ini, penulis tidak bermaksud membincang sosok Gendari dalam konteks bentuk tubuh. Namun fokusnya adalah pada martabat perempuan dan peran ibu sebagai manusia yang melahirkan keturunan.
Ketidak-setujuan Gendari atas cara suaminya dalam memilih dirinya menjadi istri, merupakan representasi kesadaran dirinya bahwa sejak dulu perempuan itu telah memiliki harga diri. Dia ingin menjadi perempuan pilihan bukan karena faktor bentuk tubuh. Dia ingin diakui sebagai perempuan yang memiliki harkat dan martabat.
Dia hendak membuktikan bahwa perempuan juga dapat menjadi manusia yang tangguh. Terbukti dengan keberhasilannya melahirkan anak-anaknya yang begitu banyak dari satu rahimnya. Lebih dari itu, dia juga “berhasil” mendidik anak-anaknya yang tidak sedikit jumlahnya itu untuk memiliki karakter yang seragam dan telah dia rencanakan; semuanya menjadi sosok antagonis dan memusuhi keluarga Pandawa.
Dari contoh ini, terbukti bahwa seorang ibu memiliki peranan penting dalam membentuk karakter anak-anaknya. Bahkan untuk membentuk karakter jahat sekalipun. Bahwa ternyata bila seorang ibu mewariskan kemarahan dan sarat dendam kepada anak-anaknya, maka akan lahir generasi yang memiliki karakter penuh kebencian.
Hikmahnya adalah bila seorang ibu salah mengasuh atau salah mendidik anak-anaknya, tak aneh bila kemudian mereka hidupnya salah jalan. Gendari contohnya. Karenanya, keberhasilan seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya, bukan diukur dari seberapa sukses kariernya, seberapa luas pergaulannya, seberapa mewah gaya hidupnya, seberapa menor dandanannya, dan seberapa banyak komunitasnya.
Mendidik anak dalam lingkungan keluarga dengan penuh rasa sayang, dilandasi norma agama dan nilai tradisi sarat adab dan etika, masih jauh lebih mulia dibanding terobsesi untuk menjadi perempuan sosialita. Selamat Merayakan Hari Ibu.
( S.Bahri )