*Putusan DKPP dan Pengawasan Bawaslu Garut Ketaatan Prosedural atau Kelalaian Fungsional?*
Garut, mediakpk.co.id – Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap Ketua KPU Garut bukan hanya mengguncang lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga menyeret Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Garut ke dalam sorotan publik. Pertanyaan yang mengemuka. Apakah Bawaslu benar menjalankan fungsinya sesuai hukum atau hanya sekadar mengikuti tahapan secara administratif?
Ketua Bawaslu Garut, Ahmad Nurul Syahid, dalam keterangan resminya menyatakan bahwa pengawasan di tingkat kabupaten telah dilakukan sesuai mekanisme dan tidak ditemukan pelanggaran etik selama sidang pleno.
“Ketika terjadi perbedaan data antara angka yang dibacakan dan yang dimiliki saksi partai politik maupun Bawaslu, selalu dikoreksi langsung. Ini bisa dikonfirmasi oleh para saksi yang hadir,” ujarnya, seraya menegaskan bahwa tak ada rekomendasi tertulis karena tak ditemukan pelanggaran yang signifikan.
Namun pernyataan tersebut menimbulkan catatan kritis. Dalam perspektif hukum pemilu, sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Perbawaslu No. 2 Tahun 2024 tentang Pengawasan Pemilu, Bawaslu memiliki mandat aktif untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan jika perlu, merekomendasikan tindakan terhadap setiap indikasi pelanggaran dalam setiap tahapan pemilu.
Tidak adanya rekomendasi tertulis dari Bawaslu justru menunjukkan potensi kelalaian dalam menjalankan mandat formalnya. Jika memang pengawasan berjalan, mengapa putusan DKPP tetap menjatuhkan sanksi kepada Ketua KPU Garut?
Ahmad beralasan bahwa pengawasan yang dimaksud DKPP adalah kewenangan Bawaslu RI, bukan kabupaten. Namun, pernyataan ini tidak dapat berdiri sendiri secara hukum. Bawaslu kabupaten/kota merupakan bagian dari sistem pengawasan terstruktur, sistematis, dan masif, yang seharusnya bertindak bukan hanya ketika diminta, tapi secara proaktif terhadap potensi penyimpangan.
Persoalan mencuat di pleno provinsi, namun proses rekapitulasi bermula dari tingkat kabupaten. Jika pengawasan di Garut benar-benar presisi, maka kesalahan data seharusnya tak sampai naik ke tingkat provinsi. Ini memperkuat dugaan bahwa pengawasan di tingkat awal tak berjalan efektif.
Putusan DKPP bukan sekadar teguran moral, melainkan bentuk koreksi etik yang sah secara hukum terhadap penyelenggara pemilu. Dalam banyak yurisprudensi DKPP, pengawasan yang pasif, meski sesuai prosedur, tetap dapat dinilai lalai secara etik jika hasil akhirnya menimbulkan ketidaksesuaian data atau pelanggaran hak peserta pemilu.
Ahmad mengatakan pihaknya tidak menerima aduan atau laporan. Namun logika pengawasan tidak semata menunggu laporan pengawas wajib aktif, tidak pasif.
Tak berhenti di situ, kekeliruan ini berpotensi menimbulkan efek domino. Kepercayaan publik terhadap integritas pemilu lokal dipertaruhkan. Bahkan muncul spekulasi bahwa kegagalan ini dapat menjadi celah untuk upaya-upaya delegitimasi hasil pemilu di Garut.
Putusan DKPP adalah tamparan keras atas tercederainya demokrasi di tingkat kabupaten. Jika pengawasan hanya bersandar pada prosedur tanpa substansi, maka pemilu bukan lagi soal suara rakyat, tapi sekadar formalitas administrasi.
Fungsi pengawasan pemilu bukan hanya soal compliance, tetapi accountability. Bawaslu tidak cukup hanya berkata “kami sudah sesuai prosedur” yang dibutuhkan adalah pembuktian konkret bahwa mereka hadir dan efektif dalam mencegah penyimpangan.
Saat sanksi telah dijatuhkan kepada KPU, Bawaslu tak bisa sekadar berlindung di balik prosedur. Karena pada akhirnya, pengawasan yang lemah adalah peluang bagi kecurangan tumbuh subur.
( Redd/S.Bahri )