Media KPK
Uncategorized

Virall,,,!!!! Oknum Guru SDN 1 Ketindan lawang Diduga Palsukan Tandatangan Kepsek dan lakukan Intimidasi 

Lawang, Malang, mediakpk.co.id  – Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk menggali ilmu bagi para siswa siswi anak Bangsa yang dilindungi undang-undang belakangan ini kerap menimbulkan masalah dan tak jarang menimbulkan polemik bagi para siswa siswi dan wali muridnya, yang diakibatkan oleh banyaknya iuran dan sumbangan bulanan, yang membebani wali murid, yang sebenarnya sudah dibiayai oleh negara melalui program Wajib belajar 12 Tahun yang sudah diimplementasikan realisasinya oleh negara melalui penyaluran anggaran dana BOS, dana KIP/PIP, dana DAK dan lain sebagainya.

Sebagaimana di alami oleh Rahmadani deviyanti, merupakan kaka kandung sekaligus wali siswi SDN 1 Ketindan, kecamatan lawang Kabupaten Malang provinsi Jawa Timur, Ibu satu anak yang akrab disapa “Devi” ini mengadu kepada awak media juga LPKSM Kresna Cakra Nusantara, terkait iuran realisasi dana BOS KIP/ PIP dan iuran sumbangan bulanan, yang pada akhirnya mendapatkan intimidasi oleh salah satu guru SD negeri 1 Ketindan.

Selain dari pada itu, Devi di somasi oleh pihak sekolah yang isinya bertuliskan ancaman dengan pasal-pasal Pidananya, Karena berani mengungkap iuran sumbangan bulanan dan membuat status di publik yang dianggap mencemarkan nama baik dan menyinggung sekolah.

” Saya didatangi oleh oknum guru kerumah, dia bernada tinggi sambil memukul-mukul kursi membuat saya dan mertua saya panik ketakutan, esoknya Saya di panggil Kesekolahan dan ditakut takuti pak, dan mereka juga mengancam akan mempidanakan saya kalau tidak mau mengakui bersalah, dan memaksa saya agar menandatangani entah surat apa sewaktu saya di panggil kesekolah, saya di suruh menulis surat pernyataan dan vidio klarifikasi di mana isi dari vidio dan surat pernyataan itu sudah di siapkan oleh guru yang bernama bu nila dan bu fany, setelah menulis, saya di kasih materai untuk menanda tanganinya , saya dikepung para guru dan dikelilingi banyak kamera, saya merasa sangat tertekan, takut dan panik yang akhirnya saya mengikuti apa saja yang mereka paksakan tanpa bisa berfikir panjang dan waras, meski semua itu tidak sesuai dengan nurani saya,”, Ucap Devi. (8/1/2025)

Namun setelah di telusuri undangan yang ada kop UPTD dinas pendidikan yang di tanda tangani kepala sekolah itu, diduga ada pemalsuan tanda tangan kepala sekolah.

“Saya tidak pernah membuat dan menandatangani surat undangan itu mas” Ujar kepala sekolah via telpon selular. (8/1/2025)

Sedangkan menurut keterangan dari pihak guru guru lainya membenarkan bahwa itu stample dan tanda tangan kepala sekolah.

Pungutan liar (Pungli) di sekolah menjadi permasalahan yang meresahkan di masyarakat. Fenomena ini terjadi ketika oknum-oknum tertentu di lingkungan sekolah melakukan berbagai cara terhadap siswa, orang tua, atau bahkan pihak lain yang terkait dengan kegiatan pendidikan.

Pungli di lingkungan sekolah tidak hanya merugikan masyarakat secara financial, tetapi juga dapat merusak moralitas dan integritas di dunia pendidikan.

Kepada awak media, Sugiyono selaku bidang SDM di LPKSM KRESNA CAKRA NUSANTARA, sekaligus penerima kuasa/aduan dari wali siswa menyampaikan, bahwa ada dugaan pungli dan dugaan penyimpangan penggunaan anggaran dana BOS, serta dugaan Penggelapan dana KIP/PIP di SDN 1 Ketindan, Sugiyono mengaku dapat aduan atau surat kuasa dari beberapa wali siswa di sekolah tersebut, untuk mengadukan/melaporkan permasalahan tersebut kepada Pemerintah Pusat dan daerah serta

Aparat Penegak Hukum (APH) agar perkara tersebut Segera ditangani dengan serius dan diproses secara hukum dan aturan yang ada di Indonesia.

Sugiyono menyayangkan peristiwa tersebut, karna gedung dan fasilitas milik negara dibuat seolah semi Yayasan, dengan meminta sumbangan didalamnya yang besarnya dan jangka waktu nya sudah ditentukan, yang mana peristiwa tersebut seolah mencederai program pemerintah wajib belajar 12 tahun yang sudah dibiayai oleh negara. sehingga pihak wali siswa dirugikan sebagai konsumen pendidikan baik secara financial maupun mentalnya.

“Bidang pendidikan adalah salah satu kategori kegiatan yang harus di pantau dan di awasi karena banyak nya keluh kesah wali siswa yang merupakan konsumen bidang pelayanan pendidikan, sangat di sayangkan adanya oknum pendidik yang tidak mencerminkan seorang pendidik, malah cendrung bermental premanisme, Intimidasi dan arogansi”, Kata Sugiyono.

Lanjut Sugiyono, Apa yang di lakukan oknum guru terhadap salah satu wali siswi yang hanya berkeluh kesah tentang hak siswa siswi soal KIP/ PIP yang harus di serahkan ke pihak sekolah untuk melunasi biaya sekolah merupakan perampasan kemerdekaan dan dugaan upaya intimidasi.

“padahal ketentuan UUD 1945 PASAL 31 AYAT 1 DAN 2 dan program pemerintah wajib belajar 12 Tahun, sudah di tanggung oleh negara melalui program program penganggaran yang sudah melalui kajian dan analisa yang Matang oleh negara, adanya pungutan-pungutan biaya Di sekolah SD, SMP, SMA sederajat di kabupaten malang. sangat mustahil Kepala Dinas (Kadin) Dinas pendidikan kabupaten malang melalui pengawas pengawas UPTD tidak tahu adanya beban biaya ke wali siswa yang cukup besar dan memberatkan, sementara itu, tidak ada keterbukaan terperinci terkait informasi realisasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana KIP / PIP dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Pembangunan dari negara, dan penerima KIP/PIP di duga banyak yang di selewengkan hingga harus membebani biaya lagi ke wali siswa, sampe sampe anak yatim pun masih harus menanggung beban biaya di SDN 1 Ketindan, ketersinggungan kepala sekolah wali kelas dan guru guru yang terlibat pengancaman intimidasi dengan mensomasi wali siswa mengunakan kop dinas UPTD dinas pendidikan merupakan wujud kebodohan dan kemunduran dunia pendidikan”, lanjut Sugiyono. (10/01)

Menurut Sugiyono, Intimidasi dan somasi yang dilayangkan pihak oknum guru terhadap wali siswa nya, merupakan upaya untuk sengaja menjegal kontrol sosial masyarakat.

“Atas peristiwa ini, saya minta KPK RI, BPK RI, Kepolisian negara, dan penegak hukum lainya, mau Jujur dan mau turun langsung memeriksa penggunaan dana BOS maupun KIP /PIP Sekabupaten malang, dan saya akan segera kirim laporan atau aduan kepolres malang tembusan presiden agar khusus dinas pendidikan kabupaten malang segera mendapatkan atensi khusus, apalagi satu nama Kepala sekolah kok bisa jadi kepala sekolah sampai 4 sekolahan SD SMP sekaligus, kelihatan sengaja memudahkan mbangun sistem yang rusak untuk menutup nutupi penyelewengan Administrasi sekolah dan jadi raja raja kecil didunia pendidikan”, Pungkas Sugiyono. (10/01)

Pengamat Pendidikan sekaligus pengacara senior, Doctor Teguh Purnomo S.H., M.H., M.Kn., Kepada Awak Media memberikan tanggapan terkait problematika pungutan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Ia berpendapat peristiwa tersebut bertentangan dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menetapkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Dr. Teguh Purnomo menjelaskan, bahwa Larangan pungutan disekolah negeri diterangkan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar, bahwa satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan dasar.

“Dilapangan yang terjadi pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah tetap memberlakukan pungutan tersebut dengan berbagai dalih dan argumen bahwa bukan satuan pendidikan yang melakukan pungutan namun komite sekolah atas kesepakatan dengan orang tua/wali murid yang kemudian diberlakukannya pungutan tersebut dalam bentuk sumbangan,” kata Dr. Teguh Purnomo.(10/01)

Lanjut Dr. Teguh Purnomo, Maraknya pungutan di satuan Pendidikan terkait kebutuhan realisasi program-program, renovasi dan pembangunan gedung, pembelian buku pendamping dan seragam sekolah, pada praktiknya dilakukan melalui pungutan liar. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya keluhan dari masyarakat terkait pungutan tersebut melalui Media Sosial (Medsos).

Keluhan mengenai pungutan dimaksud menunjukkan bahwa adanya satuan pendidikan di beberapa kabupaten yang dikeluhkan oleh orang tua/wali murid berkenaan dugaan

maladministrasi, penyimpangan prosedur dengan beberapa hal diantaranya, adanya sumbangan yang ditentukan jangka waktu dan jumlahnya yang memberatkan orang tua/wali murid (pungutan liar), pembelian seragam sekolah di satuan pendidikan yang nominalnya memberatkan orang tua/wali murid, pengadaan/pembelian buku pendamping siswa (LKS) yang memberatkan orang tua/wali murid, bahkan adanya intimidasi kepada orang tua/wali murid yang menyampaikan laporan bahkan ada yang sempat viral di beberapa daerah.

Lebih lanjut Dr. Teguh Purnomo menjelaskan, Sebagaimana Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, bahwa pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar. Sedangkan sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orang tua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.

Pada umumnya, satuan pendidikan menyangkal melakukan pungutan, dengan dalih yang melakukan pungutan adalah komite sekolah. Selanjutnya komite sekolah menyampaikan bahwa yang terjadi adalah sumbangan yang telah mendapatkan kesepakatan dalam rapat pertemuan orang tua/wali murid untuk dapat merealisasikan program-program dan kegiatan yang telah disampaikan oleh kepala sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah selaku pemimpin, pemegang kewenangan dalam satuan pendidikan juga turut andil dalam terjadinya pungutan di satuan pendidikan yang dipimpinnya.

“Umumnya yang dilakukan, awalnya kepala sekolah menyampaikan dalam penyampaian program-program dan prestasi-prestasi sekolah, yang tujuannya untuk menarik rasa memiliki bersama oleh orang tua/wali murid, selanjutnya komite sekolah menyampaikan kepada orang tua /wali murid sehingga berujung pada kesepakatan-kesepakatan yang dijadikan dasar penarikan sumbangan dengan jumlah yang ditentukan besarannya dan waktu pembayarannya yang terjadi di satuan pendidikan tersebut,” terangnya.

Lanjut Dr. Teguh Purnomo menegaskan , Komite sekolah sebagaimana ketentuan Pasal 3 Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah dapat menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif.

Masyarakat dalam hal ini sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2), yang dimaksud masyarakat adalah peserta didik, orang tua atau wali peserta didik. Selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 10 ayat (2) bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan berbentuk bantuan atau sumbangan, bukan pungutan.

“Tidak semua masyarakat berani melapor mengenai hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan dikarenakan kekhawatiran. Sistem pendidikan nasional telah menetapkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Di sinilah pentingnya partisipasi masyarakat dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik, khususnya layanan dasar di bidang pendidikan” ujar Dr. Teguh Purnomo.

Masih menurut Dr. Teguh Purnomo, berdasarkan ketentuan Pasal 181 huruf a, huruf c, dan huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, bahwa pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan, melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik, dan melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, dalam Pasal 198 huruf a, huruf c, dan huruf e, dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan dan mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung, melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.

Berdasarkan ketentuan tersebut telah jelas dan terang bahwa jual beli terhadap buku pendamping (LKS) maupun seragam di satuan pendidikan tidak diperbolehkan, karena secara langsung maupun tidak langsung selain mencederai integritas satuan pendidikan tanpa disadari hal ini sangat mengganggu psikologis siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Keadaan psikologis inilah yang acap kali dikesampingkan oleh satuan pendidikan yang melakukan penjualan buku dan seragam sekolah, dengan dalih tidak memaksa atau tidak ada paksaan, namun ketika seorang murid tidak memiliki buku maupun seragam yang berbeda dengan yang telah dimiliki oleh siswa lainnya yang membeli di satuan pendidikan, tetap ada suatu tekanan psikologis dalam pikirannya.

” Inilah mengapa menjadi perhatian penting bagi satuan pendidikan apabila akan melakukan penjualan buku pendamping tertentu dan seragam di satuan pendidikan, seragam dalam hal ini dapat dikecualikan untuk seragam khas sekolah seperti batik khas dan seragam olah raga tentunya,”terang Dr. Teguh.

Menurut Dr. Teguh Purnomo, Kewenangan merupakan satu landasan seseorang untuk dapat dibenarkan melakukan tindakan atau perbuatan dalam bentuk apapun, kebijakan haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ditulis dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, memiliki makna bahwa tindakan dalam bentuk apa pun dilakukan oleh siapa pun harus sesuai dengan asas legalitas, terlebih kepada penyelenggara negara dan penyelenggara pendidikan.

Problematika sumbangan, pungutan, pengadaan buku pendamping dan seragam di satuan pendidikan sebagaimana prinsip negara hukum dan asas legalitas, bahwa kewenangan melakukan tindakan hukum di satuan pendidikan maka harus berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan didasarkan atas kehendak para pihak, terhadap satuan pendidikan yang melakukan penarikan sumbangan, yang ditentukan jumlah dan waktunya terhadap orang tua/wali peserta didik atas dasar kesepakatan, implementasinya memenuhi unsur nominal dan waktu yang ditentukan, dengan demikian pungutan dalam bentuk sumbangan dengan dalih kesepakatan tersebut bertentangan dengan aturan hukum yakni Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 9 ayat (1) Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 jo Pasal 10 Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

“Yang menjadi penekanan bahwa, baik ketentuan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 dan Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah terkait sumbangan di satuan pendidikan tidak boleh membebani dan melibatkan orang tua/wali murid yang tidak mampu secara ekonomi,”Pungkas Dr. Teguh Purnomo.

(Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!