*Temu Ilmiah PTUN se-Indonesia: Bahas Problematika Penyelesaian Sengketa Tindakan di PTUN*
mediakpk.co.id – Wewenang peradilan tata usaha negara dalam mengadili tindakan pemerintah yang memiliki batasan.
Direktorat Jenderal Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara telah menyelenggarakan Temu Ilmiah Peradilan Tata Usaha Negara 2025 dengan tema “Problematika Penyelesaian Sengketa Tindakan Administrasi Pemerintahan di Peradilan Tata Usaha Negara”.
Kegiatan tersebut diselenggarakan dalam rangka HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke-34. Kegiatan berlangsung di Auditorium Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (BSDK MARI), pada 20 Februari 2025. Kegiatan diikuti oleh Hakim Agung, Pimpinan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tata Usaha Negara, serta peninjau dari kalangan hakim se-Indonesia.
Temu ilmiah menghadirkan dua narasumber, yakni Guru Besar Fakulas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati S.H., M.S., dan Hakim Agung pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yang Mulia Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H., serta Ketua PT TUN Mataram Dr. Disiplin F. Manao, S.H., M.H., selaku moderator.
Kegiatan dimulai pada pukul 08.00 WIB melalui pembukaan dan keynote speech Prof. (HC Undip) Dr. H. Yulius, SH, MH selaku Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam pembukaan, menyampaikan beberapa poin penting terkait dengan tema temu ilmiah.
Pertama, soal wewenang peradilan tata usaha negara dalam mengadili tindakan pemerintah yang memiliki batasan. Pembatas dari kewenangan mengadili adalah pada tindakan-tindakan hukum pemerintah.
Kedua, hakim harus cermat dalam membaca dan merumuskan keinginan para pihak dalam membuat putusan, apakah yang menjadi objek adalah tindakan hukum pemerintah atau keputusan pemerintah.
Sementara narasumber Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati S.H., M.S., menyampaikan, tindakan pemerintahan terdiri dari tindakan hukum dan tindakan fakta (rechtshandeling en feitelijke hendeling).
Kewenangan mengadili dari tindakan pemerintah ada pada peradilan tata usaha negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Hal itu sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Peralihan kewenangan mengadili diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019.
Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati S.H., M.S., menyatakan pula adanya permasalahan kewenangan mengadili terhadap keputusan fiktif positif di dalam Pasal 53 ayat (3) UU No. 30 2014 dalam konteks UU Cipta Kerja.
Dalam kaitan dengan berlakunya ketentuan Pasal 53 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014, maka ketentuan UU tersebut merupakan lex priori atas ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang mengatur tentang keputusan fiktif negatif. Itu artinya, PTUN tidak lagi dapat mengadili keputusan fiktif positif berdasarkan UU Cipta Kerja.
Problematika lainnya terkait gugatan yang diajukan ke PTUN berkaitan dengan tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat dengan menerbitkan KTUN yang lingkupnya adalah di daerah. Apakah bisa keputusan TUN yang jangkauan keputusan tersebut berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Dalam realita masih terdapat upaya kasasi terhadap keputusan yang jangkauannya di tingkat daerah.
Hal ini terjadi karena sulitnya menentukan apakah keputusan tersebut berlaku di daerah sebagaimana kriteria yang dikehendaki Pasal 45 A ayat (2) huruf C tersebut. Kemudian juga terhadap keputusan derivatif (turunan) dari peraturan yang berlaku secara nasional atau merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Perlu dipikirkan secara jernih tentang klasifikasi keputusan yang jangkauan berlakunya masuk dalam wilayah abu-abu atau grey area.
Sedangkan Yang Mulia Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H. memaparkan materi mengenai kebijakan Mahkamah Agung terkait alasan pemberlakukan Rumusan Kamar Tata Usaha Negara dalam SEMA 2 Tahun 2024.
Narasumber menjelaskan mengenai alasan keluarnya rumusan kamar sebagai upaya untuk menanggulangi penyelundupan hukum dalam penyeleseaian sengketa tindakan pemerintah dalam perkara sengketa Minerba One Data Indonesia (MODI).
SEMA tersebut merupakan solusi dalam menanggapi perubahan hukum mengenai kewenangan mengadili peradilan tata usaha negara setelah diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja.
Temu Ilmiah diakhiri dengan agenda tanya jawab antara narasumber dengan peserta dan peninjau yang hadir dalam kegiatan yang dilanjutkan dengan sesi foto bersama.
Dalam rangka memperingati HUT Peratun ke-34, selain mengadakan kegiatan temu ilmiah juga dilaksanakannya pengumuman sekaligus pemberian hadian bagi pemenang lomba karya ilmiah bagi hakim dan aparatur peradilan tata usaha negara di seluruh Indonesia.
( Redd/S.Bahri )